Sunday, November 30, 2008

Tertinggi, Persentase Belanja Pegawai Kab. Blitar

2008-05-06 17:34:59

Berdasarkan analisis data APBD 2005 kabupaten/kota di Jawa Timur, terdapat 12 daerah yang menghabiskan lebih dari 40 persen APBD 2005 untuk belanja pegawai dinas pendidikan. Sedangkan 12 daerah lainnya menghabiskan lebih dari 30 persen.

Sisanya, 10 daerah menghabiskan lebih dari 20 persen APBD untuk belanja pegawai dinas pendidikan. Hanya empat daerah yang mengalokasikan belanja pegawai dinas pendidikan kurang dari 20 persen.

Daerah yang mengalokasikan belanja pegawai tertinggi adalah Kabupaten Blitar (48,93 persen), disusul Kabupaten Tulungagung (44,74 persen), Kabupaten Ngawi (44,62 persen).

Sementara itu, daerah yang mengalokasikan belanja pegawai dinas pendidikan terkecil umumnya adalah daerah kota dengan jumlah penduduk relatif sedikit dan wilayah yang tidak begitu luas, seperti Kota Batu (11,69 persen), Kota Mojokerto (12,63 persen), dan Kota Probolinggo (19,76 persen). Di luar itu, belanja pegawai Dinas Pendidikan Kota Surabaya hanya menyerap sekitar 17,33 persen APBD.

Bagaimana dengan APBD 2006? Berdasarkan analisis data APBD kabupaten/kota, alokasi belanja pegawai dinas pendidikan yang tertinggi ditemukan di Kabupaten Jember (40,08 persen), disusul Kabupaten Tulungagung (39,8 persen), dan Kabupaten Trenggalek (38,94 persen). Sedangkan belanja terendah ditemukan di Kota Blitar (8,74 persen), dan Kota Mojokerto (9,56 persen).

Jawa Pos, 25 Februari 2008

Kondisi Pelayanan Publik di Jawa Timur

Kota Blitar Jawara Layanan Publik

2007-01-24 02:33:46

Tahun lalu (2006), The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) menyurvei persepsi publik tentang pelayanan publik di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Berikut laporan ringkas yang ditulis Redhi Setiadi dari JPIP tentang survei tersebut.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada 2006 JPIP menyurvei persepsi publik tentang pelayanan publik (public service) yang diselenggarakan 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Hasil survei publik itu menjadi bagian dari penilaian Otonomi Award 2006.

Kondisi layanan publik daerah merupakan isu strategis yang selalu menjadi fokus JPIP sejak otonomi daerah diberlakukan 2001. Karena itu, pelayanan publik sudah menjadi parameter baku yang setiap tahun perkembangannya dipantau dan dievaluasi di daerah.

Dulu, ketika era sentralisasi, aktor utama pelayanan publik bukanlah pemerintah daerah (pemda). Pemda hanya bertindak dan memberikan pelayanan sesuai dengan perencanaan dan instruksi dari pusat. Akibatnya, pemerintah pusat menjadi tumpuan segala macam kesemrawutan dan kelambanan pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah. Tidak ada ruang sedikit pun bagi pemda untuk berinovasi memajukan pelayanan bagi warganya. Untuk berinovasi, pemda bisa-bisa malah mendapatkan cap tidak tunduk pada instruksi pusat.

Era desentralisasi mengubah semua itu. Beberapa kewenangan pelayanan publik diserahkan langsung kepada pemda. Antara lain, bidang pendidikan, kesehatan, dan administrasi dasar. Kewenangan yang diserahkan tersebut mencakup perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan evaluasi program. Harapannya, semakin dekat pihak yang melayani (pemda) dan yang dilayani (publik), pelayanan publik menjadi semakin efektif, efisien, dan terkontrol.

Dalam pandangan JPIP, pelayanan publik dikategorikan menjadi dua bagian. Yaitu, yang bersifat substantif dan administratif. Pelayanan publik yang tergolong substantif ialah pendidikan dan kesehatan, sedangkan yang administratif adalah pelayanan administrasi kependudukan dan perizinan.

Pelayanan Pendidikan

Ada tujuh indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja pelayanan pendidikan. Yaitu, layanan pendidikan semakin terjangkau, mudah, dan murah, penyebaran sekolah-sekolah merata, pendidikan sebagai prioritas utama, pelayanan pendidikan lebih baik daripada tahun sebelumnya, memberikan beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin, penerimaan murid baru selalu diumumkan secara terbuka dan transparan, dan bertindak tegas terhadap penyalahgunaan pemanfaatan anggaran pendidikan.

Di antara tujuh indikator itu, ada dua yang mendapatkan penilaian relatif tinggi di antara indikator lain. Yakni, pemda memberikan beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin dan penerimaan murid baru selalu diumumkan secara terbuka dan transparan. Hampir di seluruh kabupaten/kota, dua indikator itu mendapatkan penilaian yang relatif tinggi. Secara rataan, skor kedua indikator masing-masing adalah 2.80 dan 3.03, sedangkan nilai lima indikator lain kecil.

Temuan menarik terdapat pada indikator "pemda bertindak tegas terhadap penyalahgunaan pemanfaatan anggaran pendidikan." Untuk indikator itu, ditemukan bahwa di semua kabupaten/kota nilainya kecil. Dengan rentang skor 1 sampai 5, responden mayoritas memilih skor 1. Artinya, tidak ada terobosan program untuk mengatasi masalah tersebut.

Fenomena menarik lain adalah terdapat kesenjangan yang tinggi antarkabupaten/kota mengenai penyebaran sekolah-sekolah di seluruh wilayah. Ada kabupaten/kota yang penyebaran sekolahnya dinilai cukup baik, sementara ada yang kurang baik. Yang tergolong cukup baik, antara lain, Kota Blitar, Kabupaten Ponorogo, Kota Probolinggo, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Nganjuk. Masing-masing mendapatkan skor 4.

Sementara itu, yang penyebaran sekolahnya tergolong rendah ialah Kabupaten Pacitan, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Kediri, Kota Kediri, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Probolinggo, Kota Mojokerto, Kota Pasuruan, Kota Surabaya, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bondowoso.

Berdasar total skor, terdapat tiga kabupaten/kota yang mendapatkan skor tertinggi, yaitu Kota Blitar, Ponorogo, dan Kota Probolinggo. Masing-masing mendapatkan skor 27.16, 21.61, dan 21.02. [redhi@jpip.or.id]

Sumber: Jawa Pos, 23/01/2007